Assalamu’alaykum, Tetangganet! Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga Tetangganet selalu dalam keadaan damai ya.
Hari ini, kami baru saja kembali dari mengunjungi kampung halaman. Seperti biasa, selama perjalanan, ada banyak hikmah yang dapat saya ambil dari hal-hal yang saya temui di perjalanan. Tentu saja, berkat Pak Suami yang sabar mengajari istrinya yang suka meledak-ledak ini. Hehehe..
Sebelum ke inti pembicaraan, saya ceritakan sedikit dulu tentang kehidupan masa muda kami ya.
Dulu, kami memiliki banyak keinginan. Mayoritas adalah keinginan duniawi, walaupun ketika kami memintanya kepada Allah, ada embel-embel akhiratnya begitu. Hehehe..
Contohnya, dulu ketika kami masih tinggal di kontrakan, ada doa yang selalu kami ucapkan di setiap waktu sholat,”Ya Allah, berikanlah kami rumah di surga dan rumah di dunia di lingkungan orang-orang sholih.” Alhamdulillah, Allah kabulkan doa kami, memiliki rumah di lingkungan dekat masjid.
Contoh lain, ketika kami merasakan beratnya menembus hujan setiap kali pulang-pergi ke kampung halaman di setiap akhir pekan, kami berdoa, “Ya Allah, berikanlah kami kendaraan yang baik agar kami bisa berbakti mengunjungi orang tua di kampung halaman setiap minggu.” Alhamdulillah, Allah kabulkan doa kami, memiliki sebuah mobil dan kemudahan untuk menggunakan jalan tol setiap perjalanan pulang pergi ke kampung halaman.
Begitulah kira-kira, Tetangganet. Alhamdulillah, kami bisa pulang pergi ke kampung halaman hampir setiap akhir pekan kecuali di beberapa hari yang kami diamanahi tugas dari tempat kerja.
Qadarullah, minggu ini, kami berkesempatan menjenguk orangtua yang sedang diberikan cobaan sakit. Tetangganet pasti tahu lah keadaannya orang sakit, pasti merasakan kesakitan dan ketidaknyamanan bagaimana pun treatment yang sedang diberikan. Di-treatment salah, tidak di-treatment juga salah. Begitulah.
Dalam batin, hanya kata sabar yang bisa saya pikirkan. Hingga suatu momen saya sempat bertanya kepada Pak Suami, “Dulu kita berdoa ini dan itu. Kini apa yang benar-benar Mas harapkan?”
Ternyata Pak Suami pun sepemikiran dengan saya. “Yang penting damai.”
Menjalani takdir ibarat mengendarai sebuah mobil di jalurnya. Yang sabar saja, maka perjalanan akan lancar saja. Bersyukur ketika jalannya sepi dan mulus. Bersabar ketika lalu lintasnya sedang macet. Ya dinikmati saja.
Kalau pun aspalnya sudah rusak dan jalannya bergelombang, kita harus melewatinya pelan-pelan. Kalau terburu-buru, mobil akan cepat rusak.
Ketika di hadapan kita jalannya menanjak curam, maka kita turunkan giginya, berjalan pelan-pelan dengan kecepatan konstan. Lambat pun tidak masalah. Pasti akan mencapai puncaknya juga. Disabari saja.
Kalau jalannya terlalu sempit, sedangkan kendaraan dari arah berlawanan tidak mau mengalah, tentunya kita harus berhenti sejenak. Tunggu hingga mereka lewat.
Yang sudah menjadi takdir kita akan menjadi milik kita. Jika bukan takdirnya pasti tidak akan terjadi juga. Yakin saja sama Allah. Cukup kita hadirkan sabar dan syukur dalam setiap keadaan.
Sekian cerita perjalanan kami kali ini. Semoga bermanfaat. Wassalamu’alaykum.
1 Komentar
Bener banget kak jalani takdir itu harus sabar. Ada kalanya senang dan ada kalanya susah
BalasHapusSilakan tinggalkan komentar, tapi bukan link hidup ya